Saturday, February 08, 2014

I MISSED THE PLANE !



Anda pernah ketinggalan bis, kereta atau pesawat udara? Coba diingat-ingat, kira-kira apa yang menyebabkan anda ketinggalan bis, kereta atau pesawat udara tersebut? Dua hari yang lalu menjadi momen 'istimewa' buat saya. Lho.. apa hubungannya? Ya... sejak pertama kali saya bisa naik pesawat udara, baru kali itu saya ketinggalan burung besi yang bisa terbang tersebut. Selain itu, saya tertinggal bukan karena terjebak kemacetan, kendaraan mogok di jalan atau hal-hal lain yang membuat saya tiba di bandara terlambat . Saya tertinggal karena salah masuk ruang tunggu !

Uh... sesak rasanya dada ini. Sudah puluhan bandara pernah saya lewati dari bandara perintis di ujung selatan benua Australia hingga bandara sekelas Changi, Narita, Hongkong, Los Angles, Hartsfield-Jakson, Memphis, Heathrow hingga Frankfurt di Jerman dan berbagai bandara udara di benua Afrika, saya belum pernah sekalipun ketinggalan pesawat. Kalau pun ada yang hampir meninggalkan saya, itu terjadi bukan karna hal remeh temeh dan kelalian saya, tetapi karna pihak lain. Saya hampir saja tertinggal pesawat udara menuju Hartford, Conneticut karena 'secondary inspection' di bandara udara LA setelah kurang lebih 16 jam terbang dari Narita, Tokyo. Yang bikin saya lebih meradang lagi dengan pengalaman istimewa saya dua hari yang lalu itu adalah saya salah masuk ruang tunggu di bandara dimana begitu banyak berseliweran petunjuk dengan bahasa Indonesia, bukan nihonggo seperti di Jepang atau bahasa Rusia di Bandar Udara Domodedovo Moskow. Mau tau dimana? di Ngurah Rai-Bali !

Dua hari yang lalu saya ke Denpasar untuk mengurus proses pelimpahan kepegawaian saya dari jabatan struktural ke jabatan fungsional dosen. Saya berangkat dari BIL-Bandara Internasional Lombok dengan tiket Lion Air (PP) hari itu juga. Saya tiba di Ngurah Rai sekitar jam 10.00 wita setelah terbang selama kurang lebih 25 menit dari BIL. Sesegera setelah mendarat di Ngurah Rai, saya langsung ke loket tiket taxi airport, membeli tiket seharga 150 ribu rp lalu menuju Kantor Kopertis Wilayah VIII Bali, NTB,NTT. Singkat cerita, setelah selesai urusan di Kopertis, saya segera kembali ke Bandara Ngurah Rai karena penerbangan kembali ke Lombok hari itu juga. Saya tiba di bandara sekitar jam 2.10 pm sedangkan penerbangan saya ke BIL dijadwalkan jam 4.55 pm. Karena waktu yang masih cukup lama tersisa untuk keberangkatan ke BIL, saya memilih bersantai sambil melihat-lihat berbagai renovasi yang dilakukan di bandara tersebut. Sambil menyusuri 'lorong' menuju ruang tunggu, sesekali saya cek gate no. dan boarding time di boarding pass saya. Tampak jelas disana, gate no. saya 18 dan boarding time-nya 4.30 pm. Setelah hampir 5 menit saya menyusuri lorong itu (saya menyebutnya lorong karena itu jalan sementara dibatasi dengan sejenis dinding calsiboard di kiri kanan), saya melihat no. gate saya, 18 dengan tanda panah ke atas persis di depan saya. Saya sama sekali tidak melihat no. gate 16-17 dengan tanda panah ke arah samping kanan di bawah nomor 18 tersebut. Saya fikir saat itu, ruang di samping kanan saya itulah gate 18. Maka dengan penuh keyakinan saya memasuki ruang tunggu itu, mencari tempat nyaman untuk sekedar menyandarkan tubuh yang sudah kelelahan sambil menunggu penerbangan saya ke BIL.

Saya sempat 'get a nap' beberapa menit sambil duduk dimana sesekali mata saya melongok ke monitor jadwal keberangkatan pesawat ke berbagai tujuan di depan saya. Saya melihat borading time nomor pesawat yang saya tumpangi di layar itu lebih telat daripada waktu yang tertera di boarding pass saya. Uhm... bakal terlambat lagi, gumam saya dalam hati. Benar saja. Ketika jam tangan saya menunjukkan waktu jam keberangkatan saya seperti yang tertera dalam borading pass saya, tak jua ada panggilan dari staf Lion Air di depan gate yang saya tunggu seperti bisa mereka lakukan utk memberi tahu penumpang agar segera boarding. Saya sudah mulai curiga pesawat yang saya tumpangi bakal delay karena di layar monitor tampak beberapa maskapai mengalami hal serupa walaupun maskapai yang akan saya tumpangi ke BIL tidak memberikan informasi 'delay' dilayar monitor tersebut. Yang tampak di monitor justru 'boarding'. Walaupun terasa aneh, saya tidak mencoba bertanya kepada staf Lion Air di depan gate tersebut karena seringkali juga saya alami kalaupun sudah tertulis 'boarding' dilayar monitor tersebut tetapi penumpang juga tidak dipanggil-pangggil. Salah seorang penumpang yang juga hendak berangkat ke BIL mendekati seorang staf Lion Air di depan gate itu dan samar-samar saya dengar ia menanyakan keberangkatan pesawat Lion Air yang akan ditumpanginya. Staf tersebut menjelaskan kalau pesawat Lion Air yang akan ia tumpangi delay selama 30 menit. "Oh, my God, pesawat saya delay". Sambil bergumam dalam hati, saya tatap layar monitor di depan saya lagi. Disana masih tertulis 'boarding' untuk nomor pesawat yang akan saya tumpangi. Saat itu sudah jam 5.05., padahal jadwal keberangkatan ke BIL yang tertera di borading pass saya jam 4.55. Saya mulai gusar dan bertanya dalam hati, "kok kata boarding di layar monitor itu tidak berganti menjadi delay ya?" Ketika jam tangan saya menunjukkan pukul 5.10 atau tepatnya setelah 15 menit dari jadwal keberangkatan pesawat yang hendak saya tumpangi, saya memberanikan diri bertanya kepada staf lion air tersebut sambil menunjukkan boarding pass saya. Dengan raut wajah yang agak kaget dan tergesa-gesa, staf itu berkata; 'oh... bapak bukan di sini. ini gate 17 pak. Bapak di gate 18.  Cepat... cepat.. ke sebelah pak'!

"MasyaAllah, saya salah masuk ruang tunggu", ujar saya dalam hati sambil berlari ke ruang tunggu sebelah. Tanpa menghiraukan para penumpang yang saya lewati, saya langsung ke depan gate ruang tunggu 18. "Maaf mba', pesawat ini sudah berangkat nggak", tanya saya kepada staf lion air disana dengan nafas terengah-engah. "Waduh! Pesawatnya baru saja berangkat pak. Tadi kami telpon ke hp bapak tiga kali tetapi tidak diangkat", katanya dengan wajah yang agak kecewa. "Waduh mba' hp saya di saku jaket saya dan kebetulan saya tidak hidupkan nada deringnya", ujar saya dengan wajah pucat pasi :-) "Trus, gimana mba', bisakah dibantu saya? Saya harus berangkat sore ini ke Mataram", rengek saya dengan penuh memelas berharap saya dapat dibantu. "Oh.. kami nggak bisa pak, coba bapak tanya ke loket penjualan tiket lion air di depan sana, siapa tahu bisa direschedule?", ujarnya.

Dengan perasaan galau kembali saya berlari menyusuri lorong-lorong yang saya lewati tadi untuk kembali ke loket penjualan tiket lion air di depan bandara. Keringat sudah mulai mengucur dan napas saya sudah mulai tersengal-sengal setelah hampir setengah kilometer saya berlari sekencang-kencangnya dengan harapan saya masih mampu mengejar penerbangan terakhir lion air dari Ngurah Rai ke BIL sore itu. Ketika tiba di loket itu saya langsung saja menjelaskan apa yang saya alami dan memastikan apakah penerbangan saya bisa direschedule dengan penerbangan lion air yang lain sore itu ke BIL. Apes! Ternyata pesawat lion air yang meninggalkan saya tadi adalah penerbangan terakhir ke BIL. “Mba’ tolong bantu saya, mba”, dengan nada setengah memelas pinta saya kepada petugas itu. “Kami bisa bantu bapak tetapi besok pagi. Itupun  kami tidak bisa jamin dapat tempat duduk karena tadi tinggal 2 kursi yang kosong”, ujarnya.

Dalam kondisi yang panik, cemas dan galau, tiba-tiba seseorang yang kemudian saya ketahui sebagai calo, menawarkan saya tiket Garuda. “Maaf pak, kalau Bapak mau, saya ada dua seat tiket garuda ke BIL yang tersisa untuk jam 6.30 nanti”, ujarnya. Saya berfikir sejenak. “Kalau saya ambil tiket Garuda, ……. Bersambung …..

GURU STM KELILING DUNIA !



Aku baru saja membaca sebuah buku. Judulnya Anak Dusun Keliling Dunia. Buku ini ditulis oleh I Made Andi Arsana, seorang anak muda yang berprofesi sebagai Dosen di UGM sekaligus  ‘a Ph.D student’ di University of Wollongong , Australia. Dari judulnya, tentu kita bisa dengan mudah menebak apa yang  ia ceritakan dalam buku tersebut. Ya.. benar, dia menceritakan  pengalamannya mengunjungi berbagai Negara di berbagai belahan dunia yang kita diami saat ini. Dengan gaya yang jauh dari kesan ‘mengajari’ sebagaimana yang mungkin biasa ia lakukan saat mengajar, dia mampu mengemas cerita perjalanannya yang saya yakini cukup menarik dan inspiratif  bagi para pembaca.
Bagi saya, buku ini menarik sekaligus inspiratif bukan karena diksi atau gaya bercerita sang penulisnya, tetapi lebih daripada itu, substansi dan pesan yang hendak disampaikan saya kira persis seperti apa yang pernah saya alami dan ingin saya sampaikan kepada siapa saja yang punya hobi ‘berpetualang’ tapi tidak punya cukup uang. Kami sama-sama ingin mengatakan bahwa “kamu bisa berpetualang mengelilingi jagat ini tanpa harus memiliki cukup uang !” Lho.. kok bisa?  Mana mungkin perjalanan  mengelilingi dunia tidak membutuhkan uang?  Ya, perjalanan mengelingi jagat raya ini pasti memerlukan uang tapi tidak selalu uang tersebut berasal dari kocek anda, bukan? Itulah yang penulis buku ini dan saya alami dalam 10 tahun terakhir ini.

Jika ada perbedaannya, hal itu terlihat pada latar belakang dan kapasitas kami masing-masing. Kalau Bli Made Arsana berasal dari sebuah kampung [baca:dusun di pulau Bali] sebagaimana disentil dalam judul bukunya, saya berasal dari sebuah tempat yang lebih ‘kampungan’ lagi J . Bli Made Arsana masih bisa memakai sepatu ke sekolah dan naik kendaraan bermotor saat SD dulu. Saya tanpa alas kaki sama sekali dan harus menyusuri jalan setapak dari kebun yang dijaga sekaligus tempat tinggal kami di sebuah kampung di pulau Sumbawa. Jika Bli Made Arsana  berprofesi sebagai ‘guru’ di salah satu lembaga pendidikan tinggi [baca: UGM] terbaik di negeri ini, saya hanyalah seorang guru di sebuah STM di pulau Kalimantan saat ‘melancong’ ke berbagai belahan dunia tersebut. Jika Bli Made Arsana telah menulis pengalamannya mengunjungi kelima benua yang ada di bumi yang kita pijak saat ini, saya baru saja memulai baris pertama dalam catatan perjalanan panjang saya tersebut. Pun demikian, dengan perbedaan latar belakang dan kapasitas yang cukup mencolok, toh juga Tuhan telah memberikan kesempatan yang hampir sama dengan Bli Made untuk soal ‘berkeliling’ dunia ini J

So.. apa yang perlu saya lakukan supaya perbedaan itu tidak terlalu menganga? Hanya satu yang bisa saya lakukan, menulis dan menulis pengalaman saya berkunjung ke lima benua tersebut lalu saya jadikan sebuah buku. Ups! Trus judulnya apa? Masa’ saya menjiplak judul bukunya Bli Made Arsana? Bagaimana kalau “Berselancar Di Lima Benua” atau “Tanpa Uang Berkeliling Dunia” atau “Guru STM Keliling Dunia” atau ada yang lain ? J