Anda pernah ketinggalan bis, kereta atau pesawat udara? Coba
diingat-ingat, kira-kira apa yang menyebabkan anda ketinggalan bis, kereta atau
pesawat udara tersebut? Dua hari yang lalu menjadi momen 'istimewa' buat saya.
Lho.. apa hubungannya? Ya... sejak pertama kali saya bisa naik pesawat udara,
baru kali itu saya ketinggalan burung besi yang bisa terbang tersebut. Selain itu, saya
tertinggal bukan karena terjebak kemacetan, kendaraan mogok di jalan atau
hal-hal lain yang membuat saya tiba di bandara terlambat . Saya tertinggal
karena salah masuk ruang tunggu !
Uh... sesak rasanya dada ini. Sudah puluhan bandara pernah
saya lewati dari bandara perintis di ujung selatan benua Australia hingga
bandara sekelas Changi, Narita, Hongkong, Los Angles, Hartsfield-Jakson,
Memphis, Heathrow hingga Frankfurt di Jerman dan berbagai bandara udara di
benua Afrika, saya belum pernah sekalipun ketinggalan pesawat. Kalau pun ada
yang hampir meninggalkan saya, itu terjadi bukan karna hal remeh temeh dan
kelalian saya, tetapi karna pihak lain. Saya hampir saja tertinggal pesawat udara
menuju Hartford, Conneticut karena 'secondary inspection' di bandara udara LA
setelah kurang lebih 16 jam terbang dari Narita, Tokyo. Yang bikin saya lebih
meradang lagi dengan pengalaman istimewa saya dua hari yang lalu itu adalah saya salah masuk ruang tunggu di bandara dimana begitu banyak
berseliweran petunjuk dengan bahasa Indonesia, bukan nihonggo seperti di Jepang
atau bahasa Rusia di Bandar Udara Domodedovo Moskow. Mau tau dimana? di Ngurah
Rai-Bali !
Dua hari yang lalu saya ke Denpasar untuk mengurus proses
pelimpahan kepegawaian saya dari jabatan struktural ke jabatan fungsional
dosen. Saya berangkat dari BIL-Bandara Internasional Lombok dengan tiket Lion
Air (PP) hari itu juga. Saya tiba di Ngurah Rai sekitar jam 10.00 wita setelah
terbang selama kurang lebih 25 menit dari BIL. Sesegera setelah mendarat di
Ngurah Rai, saya langsung ke loket tiket taxi airport, membeli tiket seharga
150 ribu rp lalu menuju Kantor Kopertis Wilayah VIII Bali, NTB,NTT. Singkat
cerita, setelah selesai urusan di Kopertis, saya segera kembali ke Bandara
Ngurah Rai karena penerbangan kembali ke Lombok hari itu juga. Saya tiba di
bandara sekitar jam 2.10 pm sedangkan penerbangan saya ke BIL dijadwalkan jam
4.55 pm. Karena waktu yang masih cukup lama tersisa untuk keberangkatan ke BIL,
saya memilih bersantai sambil melihat-lihat berbagai renovasi yang dilakukan di
bandara tersebut. Sambil menyusuri 'lorong' menuju ruang tunggu, sesekali saya
cek gate no. dan boarding time di boarding pass saya. Tampak jelas disana, gate
no. saya 18 dan boarding time-nya 4.30 pm. Setelah hampir 5 menit saya
menyusuri lorong itu (saya menyebutnya lorong karena itu jalan sementara
dibatasi dengan sejenis dinding calsiboard di kiri kanan), saya melihat no.
gate saya, 18 dengan tanda panah ke atas persis di depan saya. Saya sama sekali
tidak melihat no. gate 16-17 dengan tanda panah ke arah samping kanan di bawah
nomor 18 tersebut. Saya fikir saat itu, ruang di samping kanan saya itulah gate
18. Maka dengan penuh keyakinan saya memasuki ruang tunggu itu, mencari tempat
nyaman untuk sekedar menyandarkan tubuh yang sudah kelelahan sambil menunggu
penerbangan saya ke BIL.
Saya sempat 'get a nap' beberapa menit sambil duduk dimana
sesekali mata saya melongok ke monitor jadwal keberangkatan pesawat ke berbagai
tujuan di depan saya. Saya melihat borading time nomor pesawat yang saya
tumpangi di layar itu lebih telat daripada waktu yang tertera di boarding pass
saya. Uhm... bakal terlambat lagi, gumam saya dalam hati. Benar saja. Ketika jam tangan saya menunjukkan waktu jam keberangkatan saya seperti yang tertera dalam borading pass saya, tak jua ada panggilan dari staf Lion Air di depan gate yang saya tunggu seperti bisa mereka lakukan utk memberi tahu penumpang agar segera boarding. Saya sudah mulai curiga pesawat yang saya tumpangi bakal delay karena di layar monitor tampak beberapa maskapai mengalami hal serupa walaupun maskapai yang akan saya tumpangi ke BIL tidak memberikan informasi 'delay' dilayar monitor tersebut. Yang tampak di monitor justru 'boarding'. Walaupun terasa aneh, saya tidak mencoba bertanya kepada staf Lion Air di depan gate tersebut karena seringkali juga saya alami kalaupun sudah tertulis 'boarding' dilayar monitor tersebut tetapi penumpang juga tidak dipanggil-pangggil. Salah seorang penumpang yang juga hendak berangkat ke BIL mendekati seorang staf Lion Air di depan gate itu dan samar-samar saya dengar ia menanyakan keberangkatan pesawat Lion Air yang akan ditumpanginya. Staf tersebut menjelaskan kalau pesawat Lion Air yang akan ia tumpangi delay selama 30 menit. "Oh, my God, pesawat saya delay". Sambil bergumam dalam hati, saya tatap layar monitor di depan saya lagi. Disana masih tertulis 'boarding' untuk nomor pesawat yang akan saya tumpangi. Saat itu sudah jam 5.05., padahal jadwal keberangkatan ke BIL yang tertera di borading pass saya jam 4.55. Saya mulai gusar dan bertanya dalam hati, "kok kata boarding di layar monitor itu tidak berganti menjadi delay ya?" Ketika jam tangan saya menunjukkan pukul 5.10 atau tepatnya setelah 15 menit dari jadwal keberangkatan pesawat yang hendak saya tumpangi, saya memberanikan diri bertanya kepada staf lion air tersebut sambil menunjukkan boarding pass saya. Dengan raut wajah yang agak kaget dan tergesa-gesa, staf itu berkata; 'oh... bapak bukan di sini. ini gate 17 pak. Bapak di gate 18. Cepat... cepat.. ke sebelah pak'!
"MasyaAllah, saya salah masuk ruang tunggu", ujar saya dalam hati sambil berlari ke ruang tunggu sebelah. Tanpa menghiraukan para penumpang yang saya lewati, saya langsung ke depan gate ruang tunggu 18. "Maaf mba', pesawat ini sudah berangkat nggak", tanya saya kepada staf lion air disana dengan nafas terengah-engah. "Waduh! Pesawatnya baru saja berangkat pak. Tadi kami telpon ke hp bapak tiga kali tetapi tidak diangkat", katanya dengan wajah yang agak kecewa. "Waduh mba' hp saya di saku jaket saya dan kebetulan saya tidak hidupkan nada deringnya", ujar saya dengan wajah pucat pasi :-) "Trus, gimana mba', bisakah dibantu saya? Saya harus berangkat sore ini ke Mataram", rengek saya dengan penuh memelas berharap saya dapat dibantu. "Oh.. kami nggak bisa pak, coba bapak tanya ke loket penjualan tiket lion air di depan sana, siapa tahu bisa direschedule?", ujarnya.
Dengan perasaan galau kembali saya berlari menyusuri lorong-lorong yang saya lewati tadi untuk kembali ke loket penjualan tiket lion air di depan bandara. Keringat sudah mulai mengucur dan napas saya sudah mulai tersengal-sengal setelah hampir setengah kilometer saya berlari sekencang-kencangnya dengan harapan saya masih mampu mengejar penerbangan terakhir lion air dari Ngurah Rai ke BIL sore itu. Ketika tiba di loket itu saya langsung saja menjelaskan apa yang saya alami dan memastikan apakah penerbangan saya bisa direschedule dengan penerbangan lion air yang lain sore itu ke BIL. Apes! Ternyata pesawat lion air yang meninggalkan saya tadi adalah penerbangan terakhir ke BIL. “Mba’ tolong bantu saya, mba”, dengan nada setengah memelas pinta saya kepada petugas itu. “Kami bisa bantu bapak tetapi besok pagi. Itupun kami tidak bisa jamin dapat tempat duduk karena tadi tinggal 2 kursi yang kosong”, ujarnya.
Dalam kondisi yang panik, cemas dan galau, tiba-tiba seseorang yang kemudian saya ketahui sebagai calo, menawarkan saya tiket Garuda. “Maaf pak, kalau Bapak mau, saya ada dua seat tiket garuda ke BIL yang tersisa untuk jam 6.30 nanti”, ujarnya. Saya berfikir sejenak. “Kalau saya ambil tiket Garuda, ……. Bersambung …..
"MasyaAllah, saya salah masuk ruang tunggu", ujar saya dalam hati sambil berlari ke ruang tunggu sebelah. Tanpa menghiraukan para penumpang yang saya lewati, saya langsung ke depan gate ruang tunggu 18. "Maaf mba', pesawat ini sudah berangkat nggak", tanya saya kepada staf lion air disana dengan nafas terengah-engah. "Waduh! Pesawatnya baru saja berangkat pak. Tadi kami telpon ke hp bapak tiga kali tetapi tidak diangkat", katanya dengan wajah yang agak kecewa. "Waduh mba' hp saya di saku jaket saya dan kebetulan saya tidak hidupkan nada deringnya", ujar saya dengan wajah pucat pasi :-) "Trus, gimana mba', bisakah dibantu saya? Saya harus berangkat sore ini ke Mataram", rengek saya dengan penuh memelas berharap saya dapat dibantu. "Oh.. kami nggak bisa pak, coba bapak tanya ke loket penjualan tiket lion air di depan sana, siapa tahu bisa direschedule?", ujarnya.
Dengan perasaan galau kembali saya berlari menyusuri lorong-lorong yang saya lewati tadi untuk kembali ke loket penjualan tiket lion air di depan bandara. Keringat sudah mulai mengucur dan napas saya sudah mulai tersengal-sengal setelah hampir setengah kilometer saya berlari sekencang-kencangnya dengan harapan saya masih mampu mengejar penerbangan terakhir lion air dari Ngurah Rai ke BIL sore itu. Ketika tiba di loket itu saya langsung saja menjelaskan apa yang saya alami dan memastikan apakah penerbangan saya bisa direschedule dengan penerbangan lion air yang lain sore itu ke BIL. Apes! Ternyata pesawat lion air yang meninggalkan saya tadi adalah penerbangan terakhir ke BIL. “Mba’ tolong bantu saya, mba”, dengan nada setengah memelas pinta saya kepada petugas itu. “Kami bisa bantu bapak tetapi besok pagi. Itupun kami tidak bisa jamin dapat tempat duduk karena tadi tinggal 2 kursi yang kosong”, ujarnya.
Dalam kondisi yang panik, cemas dan galau, tiba-tiba seseorang yang kemudian saya ketahui sebagai calo, menawarkan saya tiket Garuda. “Maaf pak, kalau Bapak mau, saya ada dua seat tiket garuda ke BIL yang tersisa untuk jam 6.30 nanti”, ujarnya. Saya berfikir sejenak. “Kalau saya ambil tiket Garuda, ……. Bersambung …..