Tuesday, February 11, 2014

KATA-KATA CORBY DIHARGAI 32 MILYAR !



Anda terkesima dengan judul tulisan saya ini? Tentu. Hari ini saya tidak saja terkesima tetapi juga kaget, marah sekaligus sedih ketika membaca sebuah berita; http://news.liputan6.com/read/823211/keluar-penjara-corby-dibayar-rp-32-miliar-untuk-wawancara  tentang ‘keberanian’ salah satu stasiun televisi Australia membayar sekitar 32 milyar rupiah hanya untuk bisa mewawancarai Corby, sang narapidana yang baru saja diberikan status bebas bersyarat oleh pemerintah RI itu. Kemarahan dan kesedihan saya melebihi kejengkelan dan kemasygulan saya terhadap pembebasannya dari jeruji besi beberapa hari yang lalu. Bagimana tidak. Dunia begitu angkuh telah menyuguhkan kondisi yang begitu paradok di depan mata kita. Kata-kata seorang narapidana dihargai jauh lebih mahal daripada kata-kata seorang  insinyur, dokter, guru, dosen, motivator ulung  bahkan professor sekalipun.  Bayangkan! Dengan hanya bermodal julukan ratu mariyuana karena ulah bejatnya menyelundupkan 4,2 kilogram barang haram tersebut ke Bali, kata-kata yang diucapkannya berani dibayar jauh lebih mahal daripada gaji ribuan guru selama setahun di tempat saya bertugas saat ini. Padahal para guru itu telah berjuang dengan mengorbankan tidak sedikit uang dan memberdayakan segala potensi dan fikiran selama bertahun-tahun melalui pendidikan dan latihan hingga bisa diakui eksistensinya dan akhirnya mendapatkan gaji yang jumlahnya jauh lebih kecil daripada harga kata-kata orang yang telah dibui karena kejahatannya itu. Sungguh sebuah kondisi yang amat sangat paradok dan maaf saya harus mengatakan the ‘world’ isn’t fair!

Kalau kita mau jujur, kondisi paradok ini sungguh banyak terpajang di depan kita. Seorang artis-artisan dengan modal seksi, dada dan paha terbuka serta berani bicara jorok  dan blak-blakan membuka aib dirinya sendiri dan orang lain di depan publik telah mampu memberikan pesona yang luar biasa bagi pemilik korporasi pertelevisian kita sehingga membayarnya dengan harga yang begitu mahal untuk itu. Seorang tukang lelucon yang bermodalkan keberanian mengeksploitasi berbagai kata-kata, rona muka, kaki, tangan, mulut bibir, rambut, bagian-bagian tubuh lainnya serta barang-barang dan orang lain di sekitarnya pun tak kalah seksi bayaran yang diterimanya dari stasiun televise yang menayangkannya. Padahal kalau kita tanya, apa yang telah dilakukan terkait pendidikan yang dimilikinya, mulai dari Corby, si penjahat narkoba itu hingga artis-artisan dan tukang lelucon yang ditayangkan di televisi kita, jawabannya realtif sama; tidak lebih baik daripada guru-guru kita itu. Inilah bukti betapa banyak situasi paradoksal yang disuguhkan di hadapan kita saat ini.

Saya sangat maklum bahwa besarnya bayaran wawancara ekslusif yang diterima Corby atau honor yang diberikan kepada artis-artisan dan tukang lelucon itu tidak ada hubungannya dengan pendidikan yang disandangnya sehingga saya mustinya tidak perlu ‘galau’ dengan situasi ini. Ya, saya tidak galau dengan hal ini tetapi saya risau dengan pesan yang mungkin saja terbaca oleh berjuta-juta orang tua, anak-anak dan masyarakat kita. Akan sangat fatal manakala orang tua, anak-anak dan masyarakat kita yang saban hari disuguhkan dengan kondisi yang paradok ini membangun sebuah konsepsi bahwa “untuk mendapatkan uang banyak sebagai modal hidup sejahtera tidak perlu pendidikan!” Alasan mereka mungkin saja sederhana. “Lihat saja di sekeliling kita orang-orang yang berpendidikan tinggi ternyata tidak jauh lebih baik kehidupannya daripada mereka yang pendidikanya pas-pasan seperti artis-artisan dan tukang lelucon itu. Wong orang jahat saja seperti Corby bisa mendapat bayaran bermilyar-milyaran kok”.



Khusus dalam kasus pembayaran hak siar wawancara eksklusif Corby yang fantastis itu, saya memaknainya dari perspektif yang mungkin saja berada di luar mainstream penilaian publik pada umumnya. Saya bahkan mencurigai ada motif tersembunyi di balik itu. Di luar perspektif bisnis, TV 7 Australia atau pihak-pihak yang berada di belakangnya bisa saja sedang mengirimkan sebuah pesan kepada publik di Indonesia bahwa si ratu mariyuana itu adalah asset yang begitu bernilai harganya bagi mereka sehingga kata-katanya dibayar begitu mahal walaupun di Indonesia dia dinilai sebagai penjahat kelas kakap. Pemaknaan ini  muncul di benak saya ketika saya mencoba menarik benang merah antara besarnya tarif wawancara yang diberikan oleh stasiun televisi tersebut dengan eksistensinya. Siapa sih wanita berkebangsaan Australia yang memiliki nama lengkap Schapelle Leigh Corby itu? Apakah dia begitu populer dan memiliki banyak fans seperti yang dimiliki oleh artis-artis kelas dunia? Atau… apakah dia seorang tokoh yang begitu populer atau spionase yang mengerti dan memegang rashasia Negara sehingga harus dibayar begitu mahal supaya dia mau membocorkannya? Saya rasa tidak! Schapelle Leigh Corby hanyalah seorang janda mantan narapidana yang pernah dijebloskan ke dalam penjara Grobokan-Bali gara-gara mencoba menyelundupkan mariyuana seberat 4.2 kilogram ke Indonesia. Itu saja! Kalau demikian adanya, cukup rasionalkah  kalau dia perlu dibayar puluhan milyar untuk sebuah wawancara tersebut. Kalaupun dilihat dalam konteks bisnis, ‘nilai jual kata-kata’ penjahat narkotika ini belumlah sepadan dengan eksistensinya bila dibandingkan dengan tarif wawancara public figure dan selebriti-selebriti kelas dunia. Karena itulah kemudian saya memaknainya dalam perspektif yang berbeda.

No comments: