Thursday, February 07, 2008

ETC DAN MASA DEPANNYA - Bagian 1



A. PENGANTAR
Setelah lebih dari setengah dekade menjadi bagian dari sebuah sistem per-ETC-an dengan berbagai kegiatan, masalah dan tantangan yang dihadapinya, diskursus tentang tugas, fungsi dan peran serta masa depan ratusan ETC [baca : English Testing Center] di Indonesia patut kiranya didiskusikan. Penggantian nama dan fungsi ETC menjadi SPT sejak setahun yang lalu tentu memunculkan berbagai pertanyaan. Tidak cukup signifikankah keberadaan dan peran yang dimainkan oleh ETC dalam mewarnai sistem pembelajaran bahasa Inggris kita selama ini ? Seperti apakah sebaiknya ETC ini dikembangkan seiring dengan diterapkannya kebijakan baru pemerintah dalam sistem pendidikan nasional kita ?

B. ETC LEBIH DARIPADA SEKEDAR PUSAT PENGUJIAN BAHASA INGGRIS
Sejak pendirian ETC resmi dideklarasikan pada tanggal 21 September 2001 melalui surat Direkur Pendidikan Menengah Kejuruan, Departemen Pendidikan Nasional nomor 1691/c5.6/pp/2001, institusi yang pertama kali ditempatkan dan dijalankan oleh 40 SMK terpilih di seluruh Indonesia tersebut telah mampu melaksanakan tugas dan fungsinya lebih daripada sekedar pusat pengujian bahasa Inggris.

Dari berbagai diskusi yang dilakukan baik secara formal maupun non formal antar koordinator ETC di tanah air yang kini telah mencapai ratusan jumlahnya, menunjukkan bahwa beberapa diantaranya telah mampu memberikan kontribusi yang cukup signifikan tidak hanya bagi sekolah dimana ia berada tetapi juga bagi sekolah-sekolah lainnya, bahkan bagi pemerintah daerah dimana ETC tersebut berada. Kontribusi dimaksud tidak hanya dalam hal pengembangan bahasa Inggris tetapi juga telah mampu menyentuh hal-hal yang berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan para guru dan pengelolanya serta pihak-pihak lain yang terlibat di dalamnya walaupun dalam jumlah yang relatif kecil. Lebih jauh daripada itu, dalam hal pengembangan sistem pembelajaran bahasa Inggris, keberadaan ETC selama ini telah mampu menjadi ‘benang’ penghubung antara SMK-SMK di daerah dengan sistem atau subsistem pengambil kebijakan di pemerintah pusat. Dalam tataran pragmatis di luar dari fungsinya sebagai pusat pengujian bahasa Inggris, benang penghubung tersebut sesungguhnya kini telah menjadi sebuah jaringan kerja [baca: networking] antara berbagai subsimpul secara nasional dalam dunia perbahasainggrisan kita bila dilihat dalam perspektif yang luas. Melalui ETC, ratusan guru bahasa Inggris se-Indonesia, personil Depdiknas, PPPGK Sawangan, penyedia layanan tes bahasa Inggris dan berbagai institusi lainnya telah dipertemukan, berdiskusi bahkan bekerja sama dalam melaksanakan berbagai program pengembangan bahasa Inggris di tanah air. Sungguh sebuah potensi yang luar biasa apabila ‘networking’ yang telah dibangun selama lebih dari stengah dekade ini bisa diberdayakan secara optimal. Tentu hal ini sebanding dengan ‘ongkos’ yang telah dikeluarkan untuk itu. Bukankah tidak mudah dan murah untuk membangun sebuah jaringan kerja apalagi untuk level nasional ?

Disamping kontribusi akademis dan non akademis yang sangat signifikan bagi pengembangan sistem pembelajaran bahasa Inggris kita, keberadaan ETC selama ini telah mampu membuka pintu bagi para guru bahasa Inggris di sekitar ETC tersebut berada untuk mengasah baik kemampuan yang terkait dengan tugas mereka sebagai guru maupun untuk pengembangan dirinya secara utuh. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh ETC baik berupa pengujian maupun pelatihan telah mampu memberikan mereka kesempatan untuk berkiprah tidak hanya sebagai instruktur tetapi juga sebagai coordinator, planner, supervisor, promotor, bahkan manajer dari kegiatan-kegiatan yang dilaksanakannya. Melaui peran-peran tersebut, mereka diasah kemampuan mengelola sebuah organisasi dimana hal itu tentu tidak bisa diperoleh apabila yang bersangkutan tidak memiliki wadah untuk hal tersebut.

Singkat kata, ETC selama kurang lebih lima tahun terakhir ini telah mampu memainkan peran yang cukup signifikan dalam sistem pendidikan kita dan oleh karenanya hendaknya ia dilihat tidak hanya sebagai sebuah wadah pengujian dan pelatihan bahasa Inggris belaka namun lebih daripada itu, ETC sesungguhnya adalah perwujudan dari sebuah jaringan kerja pendidikan nasional [baca: national education network] yang bisa saja menjadi aset yang sangat berharga baik bagi pemerintah daerah maupun pusat dalam rangka pengembangan sistem pembelajaran bahasa Inggris khususnya dan pendidikan di Indonesia pada umumnya.

C. PERUBAHAN NAMA DAN FUNGSI ETC
Melihat manfaat baik yang bersifat akademis maupun non akademis yang bisa diperoleh dari keberadaan ETC di tanah air, ‘pemberangusan’ ETC yang dilakukan sendiri oleh institusi yang mendirikannya merupakan sebuah tindakan yang sangat kontraproduktif dan harus ditolak secara bersama-sama. Penggantian nama dan fungsi sebagian besar ETC menjadi Sekolah Pelaksana Tes [SPT] telah menghilangkan esensi dasar pendirian ETC tersebut dan oleh karenanya hal tersebut bertentangan dengan prosedur operasional standar yang telah disepakati secara bersama-sama. Selama kurang lebih satu tahun terakhir ini, SPT yang disuguhkan menjadi pengganti ETC belumlah mampu menunjukkan peran yang lebih baik daripada ketika ia masih berlabel ETC. SPT tidak lebih dan tidak kurang hanya sebagai tempat pelaksanaan tes TOEIC belaka. Instrumen-instrumen pendukungnya, seperti SPO misalnya, tidak merekomendir wadah tersebut untuk berkiprah seperti ETC. Dengan demikian, walaupun ada sebagian dari kita yang ingin memberdayakan peran SPT tersebut seperti yang dimiliki oleh ETC, pengimplementasiannya hampir bisa dipastikan tidak akan bisa berjalan dengan mulus. Mengapa ? Karena SPT tidak memiliki rambu-rambu secara nasional yang mengatur hal tersebut. Sebagian peran yang dimiliki oleh ETC seperti pelatihan misalnya bisa saja dilaksanakan oleh SPT namun hanya berlaku bagi SPT itu saja dan legalitasnya tentu dipertanyakan. Untuk alasan tersebut, keberadaan ETC harus tetap dipertahankan.

Namun demikian, apabila ‘pemberangusan’ tersebut dimaknai dan diimplementasikan sebagai sebuah usaha reinventarisasi tata kelola ETC sejalan dengan semangat otonomi daerah dan sistem pendidkan nasional kita maka sebaliknya kita harus dukung bersama-sama. Mengapa ? Karena keberdaan ETC, dimana secara administratif menjadi bagian integral dari SMK, tentu akan semakin kompleks dan sangat tergantung dari kebijakan sekolah tersebut khususnya maupun pemerintah daerah pada umumnya. Dengan demikian, sistem dan tata kelolanya juga harus menyesuaikan diri tidak hanya dengan kebijakan-kebijakan pemerintah pusat tetapi juga, dan ini yang lebih penting, adalah dengan sistem dan tata kelola sekolah maupun pemerintah daerah dimana ia berada. Peran ETC ke depan dituntut untuk mampu bersinergi tidak hanya dengan sistem atau subsistem yang ada di pemerintah pusat tetapi juga dengan sistem atau subsistem yang ada di pemerintah kabupaten atau kota bahkan propinsi. Sudahkah hal ini dilakukan seiring dengan perubahan ETC menjadi SPT ? Jawabannya tentu belum. Yang telah dilakukan selama ini justru mengkebiri kedudukan, peran dan fungsi ETC sehingga hal tersebut tidak semakin berkembang tetapi sebaliknya semakin mengerucut. Jika sebelumnya ETC diposisikan sebagai sebuah organisasi dalam SMK yang memiliki independensi mengelola dirinya sendiri, kini dengan berganti nama menjadi SPT, oraganisasi itu semakin lemah bahkan tidak ada. Fungsi pelatihan yang sebelumnya dimiliki oleh ETC, kini sudah ditiadakan. Yang tertinggal hanyalah fungsi pengujian dengan segala keterbatasannya.

Dari uraian di atas, tampak sekali bahwa perubahan nama dan fungsi ETC menjadi SPT samasekali tidak memberikan perubahan ke arah yang lebih baik tetapi justru sebaliknya. Perubahan tersebut, dalam perspektif apapun kecuali untuk kepentingan sempit dan sesaat, telah menjadi sebuah kemunduran dalam pengembangan sistem pendidikan bahasa Inggris di lingkup pendidikan kejuruan khususnya. Oleh karena itu, kebijakan ini harus ditata kembali sehingga cita-cita para ‘founding fathers’ yang telah bersusah payah membangun sistem per-ETC-an di negeri ini selama lebih dari setengah dekade dapat kita raih bersama-sama.


Balikpapan, 7 Februari 2008


Syamsul Aematis Zarnuji
Advisor – ETC SMKN 1 Balikpapan
Kepala SMK Airlangga Balikpapan
T : +62 542 761 941, 415 285
M : +62 811 531 471
E : szarnuji@yahoo.com

GURU BRILIAN BUKANLAH JAMINAN-Bagian 2 (habis)

Sebagai seorang guru, hati saya terasa miris ketika salah seorang kawan saya mengatakan kepada saya kalau seandainya semua guru-guru kita di negeri ini memiliki kualitas yang bagus maka selesailah perkara carut marut pendidikan kita ini. Dia begitu yakin dengan kepintaran dan kecakapan seorang guru dalam mengubah wajah pendidikan kita. Sampai-sampai ia berkata, “kalau gurunya sudah pintar, cakap dan terampil, biar kurikulum dan fasilitas belajarnya tidak bagus, hasilnya dijamin pasti bagus”. Saya lalu bertanya kepadanya, “guru-guru yang berkualitas itu seperti apa sih ? “ “Tentu guru-guru yang memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan yang bagus terkait dengan tugasnya sebagai guru”, jawabnya. Saya makin penasaran dengan cara pandang kawan saya ini. Saya pikir mungkin ada sesuatu yang baru yang bisa saya peroleh darinya mengingat dikalangan para pendidik dia sering ditokohkan sebagai seorang yang punya visi yang sangat brilian tentang dunia pendidikan kita. Makanya saya melanjutkan pertanyaan saya. “Menurut anda, kualitas guru-guru kita saat ini seperti apa sih ?”, tanya saya. “Wah.. kalau soal itu anda juga tau. Kualitasnya jau dari apa yang diharapkan”, timpalnya. “Lalu, apa yang harus kita lakukan ? “, tanya saya kembali. Dengan berapi-api dia menjelaskan. “Benahi LPTK-LPTK kita. Benahi kurikulum serta sistem pendidikan dan pelatihannya. Buat program-program yang bisa menarik minat generasi muda kita yang berprestasi, pintar dan brilian untuk masuk ke LPTK-LPTK tersebut dan pekerjakan dosen-dosen berkelas super untuk mendidik dan melatih mereka. Dengan cara itu kita tentu akan mendapatkan guru-guru yang mupuni”, urainya.

Memang sangat masuk akal. Jika kita ingin memiliki guru-guru yang berkualitas, brilian, mumpuni atau apalah istilah yang mau kita gunakan untuk menunjukkan tingkat ‘kehebatan’ atas kemampuan dan kecakapan guru-guru tersebut maka pendekatan formal yang paling ideal yang harus kita lakukan adalah persis seperti yang diuraikan oleh kawan saya di atas. Pertanyaanya kemudian adalah apakah dengan memiliki guru-guru yang mumpuni tersebut bahkan didukung dengan kurukulum dan fasilitas belajar yang baik dan sangat memadai lalu serta merta hasil dari proses pendidikan kita akan baik pula atau carut marut dunia pendidikan kita ini akan terselesaikan ?

Hemat saya, tidaklah demikian. Guru yang brilian hatta pun ditambah dengan kurikulum yang baik serta fasilitas yang sangat memadai bukanlah semata-mata jaminan untuk memperoleh hasil pendidikan yang berkualitas yang oleh karenannya carut-marut pendidikan kita di negeri ini serta-merta akan terselesaikan. Sayangnya, seringkali fokus perhatian kita tertuju hanya pada tiga aspek tersebut; guru berkualitas, kurikulum yang baik dan fasilitas yang memadai manakala kita berbicara soal penyelenggaraan pendidikan. Sepertinya kalau ketiga aspek tersebut telah dipenuhi maka selesailah urusan perbaikan kualitas pendidikan tersebut. Kita lupa bahwa masih ada aspek-aspek fundamental lain yang harus dikelola dengan baik jika kita menginginkan ketiga faktor di atas mampu memberi efek yang signifikan dalam memperbaiki kualitas pendidikan di negeri ini. Apalagi hanya berharap dari sebuah profesi guru walaupun memiliki kepandaian dan kecakapan yang sangat bagus. Lho, “bukankah guru itu sama dengan koki ?. Biar bahan bakunya tidak bagus kalau koki terserbut pintar meracik bumbu-bumbunya, pasti makanannya jadi lezat ”, kata kawan saya.
Logika tersebut 100 persen benar. Tapi jangan lupa bahwa bahan yang diracik oleh kedua orang yang memiliki profesi yang berbeda tersebut memiliki karakteristik yang amat sangat berbeda pula. Yang satu, biar di potong, dicincang atau diulek kalau nggak punya blender, tetap saja merem sedangkan yang lainnya, boro-boro mau dipotong, baru disentil saja sudah ngacir. “You can take the horses to the river but you can’t make them drink !” Karena karakteristik yang berbeda ini pula maka hasil yang akan diperoleh dari perlakuan terhadapnya pun akan berbeda walaupun dilakukan dengan cara yang sama. Oke … oke… “let’s just forget it !” saya kira ini bukan ‘case’ yang ingin saya sampaikan. Yang mau saya katakana adalah bahwa seorang guru yang memiliki kemampuan dan kecakapan yang bagus yang merupakan hasil dari sebuah proses ‘revolusi’ terhadap sistem penyelenggaraan LPTK kita tidak serta merta guru tersebut akan mampu dan/atau mau mewujudkannya [to perform] sebaik kemampuan dan kecakapan yang ia miliki ketika ia sudah menjadi seorang guru. Padahal yang bisa mengubah ‘wajah’ pendidikan kita ini bukan tergantung pada seberapa bagus ilmu dan keterampilan keguruan yang dimiliki oleh guru-guru kita tetapi lebih jauh daripada itu, dan ini yang lebih penting, adalah terletak pada seberapa bagus guru-guru kita telah melaksanakan tugas keguruannya tersebut.

Ketika kita berbicara sistem penyelenggaran LPTK kita dan berbagai aspek ikutan yang mendukung pengimplementasian sistem tersebut maka sebenarnya kita hanya berbicara soal ilmu pengetahuan dan keterampilan keguruan para guru kita, bukan seberapa bagus guru-guru kita telah melaksanakan tugas keguruannya. Padahal yang terakhir yang saya sebutkan inilah yang menentukan hitam putih wajah pendidikan kita. Percuma guru-guru kita mumpuni dari segi keilmuan dan keterampilan mengajarnya tetapi dalam mengajar mereka tidak mampu/mau melakukan sebaik ilmu dan keterampilan yang dikuasainya. Lho.. kok bisa ? Bukankah kalau ilmu dan keterampilan guru-guru kita sudah mumpuni maka mengajarnya juga mumpuni ?

Jawabnya tidak selalu demikian. Ada faktor lain yang amat sangat mempengaruhinya. Salah satu diantaranya adalah sistem yang menopang pelaksanaan tugas para guru tersebut ketika mereka telah diamanhkan tugas keguruan di pundaknya. Kalau sistemnya, mohon maaf, memble alias tidak kompetitif maka praktis para guru tersebut tentu akan mengajar sekena hati. Mereka tidak terpacu untuk mengeluarkan segenap kemampuan yang mereka miliki karena perlakuan ‘user’ terhadap mereka yang mengajar dengan baik bahkan melebihi standar yang telah ditetapkan tidak berbeda denagan atau lebih baik daripada mereka yang mengajar apa adanya bahkan jauh di bawah standar minimal. Mereka juga tidak terpacu untuk mengembangkan dirinya untuk ‘perform’ lebih baik. Justru apa yang telah diperoleh ketika masih di LPTK dulu kini lambat laun semakin memburuk, pudar bahkan hilang ditelan keengganan dan ‘kemalasan’nya. Hemat saya, baik buruknya sistem ini akan sangat mempengaruhi seberapa baik tugas-tugas keguruan yang akan dilaksanakan oleh para guru di tingkat akar rumput dan oleh karennya pula akan mempengaruhi kualitas pendidikan kita. Malah saya menduga, jika sistem di tataran implementasi ini berjalan dengan baik dalam atmosfir yang sangat kompetitif maka optimalisai kualitas pendidikan kita akan mampu kita capai walaupun di-back up oleh lulusan LPTK yang kualitasnya kurang baik. Mengapa ? Karena sistem tersebut tentu akan bekerja dengan sendirinya dalam rangka mengubah ‘mindset’ dan gairah kerja serta usaha para guru tersebut dalam mengubah dirinya menjadi lebih baik. Mereka akan terpacu untuk mencari sumber-sumber ilmu baru yang bisa menopang tugas keguruan yang diembannya dalam rangka tampil [perform] lebih baik bahkan terbaik di antara guru-guru lainnya.

Program sertifikasi guru, secara filosofis, sebenarnya telah menyentuh dan masuk ke ranah yang saya uraikan di atas. Namun sayang, dalam tataran implementatif, saya melihat belum berada pada jalur yang benar. “We are not on the right track and I’m sorry to say that !”. Dari pengamatan saya, penilian kinerja guru yang dilakukan hanya melalui porto folio sama sekali tidak mengubah watak dan prilaku guru secara substansial terkait dengan usaha-usaha mereka untuk memperbaiki kemampuan mengajarnya apalagi pelaksanaannya di dalam kelas. Yang berubah hanyalah gairah mereka untuk mengumpulkan sertifikat dan surat keterangan sebanyak-sebanyaknya hattapun dilakukan dengan cara memanipulasi data orang lain.

Sebagai penutup saya ingin katakan sekali lagi bahwa guru yang brilian, guru yang mumpuni, guru yang berkualitas atau guru yang memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan yang sangat tinggi yang merupakan hasil dari sebuah proses revolusi terhadap sistem penyelenggaaraan LPTK kita tidaklah serta merta akan mampu mengubah wajah pendidikan kita karena yang bisa mengubahnya bukan seberapa bagus ilmu pengetahuan dan keterampilan keguruan yang dimiliki oleh para guru kita tetapi lebih jauh daripada itu, dan ini yang lebih penting, adalah terletak pada seberapa baik para guru tersebut telah mampu melaksanakan tugas keguruannya ketika kelak mereka menjadi guru. Oleh karenanya dibutuhkan sebuah sistem yang dapat mendorong agar mereka mampu dan/atau mau melaksanakan tugas keguruan yang diembannya sebaik ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dikuasainya.

Guru yang brilian, guru yang mumpuni, guru yang berkualitas atau guru yang memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan yang sangat tinggi tentang tugas-tugas keguruan yang diembannya tentu tetap diperlukan. Tetapi jika hal tersebut tidak disertai dengan penataan sistem yang mampu menopang kondusifitas dan suasana kompetitif dalam pelaksanaan tugas-tugas mereka kelak ketika mereka berada di dalam kelas maka saya khawatir apa yang mereka lakukan bagi anak-anak didiknya tidaklah sebaik apa yang mereka tau dan bisa lakukan. Semoga tidak demikian adanya.

Balikpapan, 8 Februari 2008

Syamsul Aematis Zarnuji
Praktisi Pendidikan
T : +62 542 877 635
M : +62 811 531 471
E : szarnuji@yahoo.com
W : www.zarnuji.blogspot.com