Wednesday, February 06, 2008

GURU YANG BRILIAN BUKANLAH JAMINAN-Bagian 1

In dikmenjur@yahoogroups.com, "raja oppung" wrote:
Bila kita simak sampai saat ini bibit guru pada dasarnya orang-orang yangmenengah ke bawah dalam segala hal."TIDAK ADA ANAK PEJABAT YANG MAU JADI GURU", "TIDAK ADA ANAK ORANG KAYA MASUK IKIP", " TIDAK ADA JUARA I - III DI SLTA YANG MASUK KE IKIP"

Tadinya saya tidak begitu tertarik menanggapi tulisan raja opung ini terutama kalimatnya yang mengatakan kalau tidak pernah ada siswa juara 1-3 di SMA yang mau masuk IKIP. Tapi karena kalimat yang dicetak huruf besar itu muncul lagi di milis ini, tangan saya jadi 'gatel' juga untuk menulis.

Asumsi raja opung ini menurut saya terlampau berlebihan. Kalau jarang anak yang juara 1-3 masuk IKIP atau FKIP mungkin masih bisa diterima. Tapi kalau sampai mengatakan nggak ada itu udah keterlaluan. Di FKIP jurusan Bahasa Inggris tempat saya kuliah dulu, saya bahkan bisa mengatakan hampir separuh dari kawan-kawan seangkatan saya adalah siswa-siswa yang dulunya berprestasi dan nggak pernah keluar dari ranking 1-3 di sekolahnya sewaktu SMA. Dan hebatnya lagi mereka itu berasal dari SMA-SMA favorit baik dari kota dimana FKIP tersebut berada maupun dari kota-kota lainnya di Indonesia. Dan super-super hebatnya, pendidikan paska sarjana mereka apakah itu master atau doktor semuanya diambil universitas-universitas ternama di luar negeri.

Pengalaman empirik saya ini mungkin kasuistik. Tapi bukan berarti lalu kita bisa mengatakan kalau nggak ada anak-anak orang kaya, anggak ada anak-anak berprestasi, nggak ada anak-anak pintar, nggak ada anak-anak yang juara 1-3 atau nggak ada anak-anak yang super lainnya yang mau masuk IKIP atau FKIP. Menurut saya ini salah besar. Kenyataannya ada kok, bahkan untuk jurusan-jurusan tertentu cukup banyak. Cuman kalau mau dibandingkan jumlahnya dengan mahsiswa non FKIP atau IKIP, ya... harus kita akui bahwa institusi tempat menggembleng orang-orang yang akan menjadi guru ini pasti kalah telak. Tapi sekali lagi bukan berarti nggak ada anak-anak 'super' di FKIP atau IKIP. Mereka ini sering tidak kelihatan di permukaan karena institusinya memang tidak 'populer' disamping jumlahnya yang tidak banyak. Mereka ibarat mutiara yang terpendam.

Yang menjadi persoalan kemudian adalah setelah mereka mendapatkan gelar S.Pd, sebagian anak-anak yang cukup brilian ini bukannya menjadi guru tetapi memilih profesi lain. Alasannya klasik memang. Disamping tidak bergengsi, 'income' yang diperoleh dari profesi ini relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan gaji yang akan mereka peroleh jika bekerja di BUMN atau perusahaan-perusahaan asing misalnya. Itulah yang sering mereka katakan kalau kita bertanya mengapa mereka tidak menjadi guru.

Terlepas dari hal ini, ada sebuah pertanyaan yang menurut saya menarik untuk dicermati. Apakah dengan memiliki guru-guru yang 'berkualitas', pendidikan kita akan menjadi lebih baik ? Kata berkualitas saya tulis dalam tanda kutip mengingat penginterpretasian kata tersebut bisa jadi tidak sama antara satu orang dengan orang lainnya. Ada sebagian kalangan yang memadankan kata-kata 'guru berkualitas' dengan 'guru yang brilian'. Mereka berpikir kalau guru saya pintar maka segala urusan mendidik anak bangsa ini akan terselsaikan. Makanya usaha-usaha yang ditempuh selalu berurusan dengan bagaimana mendapatkan guru-guru yang brilian mulai dari memperbaiki input calon guru, pembenahan dan optimalisasi sistem pendidikan dan pelatihan guru, melakukan penataan-penataan LPTK-LPTK agar bisa menjadi institusi yang mumpuni dan lain-lain yang selalu lebih baik dan serba up-to-date. Mereka berpikir inilah solusi yang paling 'jitu' dalam rangka memperbaiki carut-marut dunia pendidikan kita saat ini. Mereka tidak sadar kalau masih ada aspek-aspek lain yang perannya tidak kalah penting bahkan lebih penting daripada sekedar menjadi guru yang brilian dalam rangka memperbaiki pelaksanaan pendidikan di republik ini. Cilakanya, sebagian besar dari masayarakat kita, bahkan para pakar pendidikan kita sekalipun sebagian masih memaknai guru berkualitas tersebut seperti ini. Lalu bagaimana sebaiknya kita memaknai guru berkualitas tersebut ?

Buat saya pribadi, guru berkualitas itu tidak diukur dari APA YANG BISA IA LAKUKAN tetapi dari APA YANG SUDAH IA LAKUKAN terkait tugas yang diembannya sebagai seorang guru. Jadi yang menjadi penekanan di sini adalah pada implementasinya, bukan pada apa yang ia ketahui. Seseorang bisa saja mengerti cara mengajar dengan baik, juga memiliki keterampilan untuk melakukan hal itu sebagai akibat dari sebuah proses rekrutmen dan pelatihan yang sangat baik. Tapi bisakah kita menjamin kalau yang ia tahu dan bisa lakukan itu mau diterapkannya. Dia sebenarnya mampu melakuknnya tetapi dia belum atau tidak mau melakukannya. Bersambung ke Bagian 2