Sunday, November 04, 2007

ANTARA KEYAKINAN DAN ALIRAN SESAT : Ada Apa Dengan Fatwa MUI ?

Beberapa minggu terakhir ini Ahmad Moshaddeq, pendiri dan pemimpin aliran Al-Qiyadah al-Islamiyah, menjadi begitu populer. Bukan karea ia seorang pejabat, milyuner, selebritis atau artis ibukota. Bukan juga karena ia bintang olahraga, juara olimpiade fisika tingkat dunia atau peraih nobel perdamaian. Ia begitu populer, paling tidak dikalangan penikmat berita-berita di media cetak atau elektronik, lantaran namanya acapkali disebut dan dijadikan bahan pembicaraan sebagai akibat dari dikelurakannya fatwa MUI [baca : Majelis Ulama Indonesia] tentang kesesatan aliran yang dipimpinnya. Ada apa dengan aliran Al-Qiyadah al-Islamiyah tersebut ?



Dari sedikit informasi yang mampu saya himpun di sela-sela padatnya kegiatan yang saya lakoni beberapa hari-hari terakhir ini, saya memahami kalau kelompok penganut ajaran Al-Qiyadah al-Islamiyah ini tidak mengakui bahwa Muhammad SAW adalah rasul yang paling akhir dalam sejarah kerasulan atau kenabian dalam agama islam. Para pengikut aliran ini mengklaim bahwa Muhammad SAW bukan rasul yang paling akhir tetapi sang pemimpin aliran Al-Qiayadah al-Islamiyahlah rasul yang diutus oleh Allah untuk menyempurnakan ajaran agama islam di muka bumi ini. Akibatnya, nama Muhammad SAW sebagai rasulullah yang termaktub dalam dua kalimat syahadat diganti dengan Al Masih Al Maw'ud yang tidak lain adalah Ahmad Mosaddeq sendiri. Sungguh sebuah kenekatan yang luar biasa !



Tidak cukup puas dengan memprak-porandakan fondasi akidah yang dimilikinya, sang pemimpin aliran yang juga pensiunan PNS Pemerintah Daerah DKI Jakarta ini juga menelurkan 'fatwa' melalui organisasi yang dipimpinnya agar para pengikutnya tidak perlu melaksanakan shalat lima waktu walaupun terang-terangan bertentangan dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah Muhammad SAW kepada seluruh kaum muslimin dan muslimat yang berakal dan telah aqil baliq.



Memperhatikan faham yang dijarkannya, sungguh sebuah penistaan [baca : penyelewengan] terhadap ajaran yang telah secara nyata dan kasat mata termaktub dalam Al-Qur'an dan Hadits sebagai referensi 'dwitunggal' yang tidak semestinya diingkari apabila para pengikut aliran tersebut masih mengklaim dirinya sebagai ummat islam. Dengan dalih dan argumentasi apapun, faham ini tentu tidak mungkin dibenarkan. Apabila ada seseorang atau sekelompok orang yang tetap meyakini hal tersebut sebagai sebuah kebenaran maka sesungguhnya mereka telah terang-terangan mengeliminasi keberadaan Al-Qur'an dan Hadits. Dengan demikian, mereka tentu tidak bisa dianggap sebagai orang islam melainkan golongan orang-orang yang kafir.



Inilah landasan hukum yang bisa saya fahami mengapa MUI mengeluarkan fatwa tentang kesesatan kelompok ini. Namun yang tidak bisa saya fahami mengapa ada pihak-pihak dari kalangan islam sendiri, bahkan mereka-mereka ini 'berlebel' cendekiawan islam, tidak sefaham dengan fatwa ini. Apa alasan mereka mengapa fatwa tersebut tidak disetujui ? Lalu apanya yang tidak disetujui ? Substansi fatwanya atau tindakan MUI yang mengeluarkan fatwa tersebut ? Tokoh sekaliber Can Nun misalnya, mengatakan kalau MUI lah yang sesat dalam mengeluarkan fatwa tersebut [Baca : http://hidayatullah.com/index.php?option=com_joomlaboard&Itemid=79&func=view&id=41002&catid=20].


Kalau para penentang fatwa ini tidak menyetujui karena substansinya, patut kiranya dipertanyakan ada apa dengan substansi fatwa tersebut ? Bukankah MUI hanya memberikan informasi sekaligus penegasan [baca : memberikan pendapat hukum] atas keberadaan aliran Al-Qiyadah al-Islamiyah bahwa aliran tersebut sesat jika dilihat dari sudut pandang ajaran Islam. Pesoalannya akan menjadi lain jika misalnya isi fatwa MUI tersebut meminta kepada ummat islam untuk membrangus organisasi Al-Qiyadah al-Islamiyah dan para pengikutnya. Kalau ini substansinya tentu hal tersebut akan sangat 'debatable', tergantung seberapa tinggi keyakinan kita masing-masing baik atas ajaran agama islam yang kita anut maupun aturan bernegara yang kita miliki. Kalau ada diantara ummat islam, apalagi ia berlebel 'cendekiawan islam' menolak fatwa ini karena alasan substansinya maka patut kita curigai kalau yang bersangkutan adalah bagian dari jaringan aliran Al-Qiyadah al-Islamiyah.
Bagaimana jika para penentang fatwa MUI ini menyandarkan ketidak setujuannya atas tindakan MUI yang mengelurakan fatwa tersebut ? Kalau hal ini yang mereka jadikan pijakan, sungguh merupakan sebuah pengingkaran atas amanah yang diembannya. Mengeluarkan fatwa, dalam tataran implementatif, tak lebih dari sebuah tindakan untuk mengingatkan orang tentang sesuatu yang difatwakan. Dalam literatur hukum islam, posisi produk fatwa memang tidak mengikat. Statusnya sama dengan hasil ijtihad individual. Ia hanya mengikat bagi pihak yang berfatwa dan berijtihad. Produk hukum Islam yang mengikat secara publik ada dua: putusan pengadilan dan peraturan perundangan produk penguasa. Mirip teori hukum pada umumnya.
[KH. Didin Hafiduddin dalam Laporan Khusus, Gatra Nomor 38, Senin, 1 Agustus 2005]. Kalau mengeluarkan fatwa sama saja dengan mengingatkan orang lain tentang sesuatu hal, lalu apanya yang salah dari tindakan MUI memfatwakan keberadaan aliran Al-Qiyadah al-Islamiyah tersebut. Justru sebagai ummat islam, terlepas dari mengeluarkan fatwa tersebut menjadi tugas MUI, kita semestinya terpanggil untuk saling mengingatkan karena memang hal tersebut merupakan sebuah kewajiban. Sekali lagi, ini kewajiban ummat islam semuanya. Kita, pengikut Al-Qiyadah al-Islamiyah atau siapapun yang menganggap dirinya ummat islam sepatutnya bersyukur bahwa masih ada diantara kita yang mau mengingatkan satu sama lain tentang mana yang benar dan mana yang salah, termasuk di dalamnya tindakan MUI yang memberikan fatwa atas keberdaan jaringan Al-Qiyadah al-Islamiyah tersebut.
Terlepas dari fatwa MUI tersebut dan penolakan saya atas keberadaan aliran-aliran yang menyimpang dengan sunatullah yang kerap muncul akhir-akhir ini, ada satu hal yang sangat mengusik pikiran saya terkait tindakan pemerintah dan ummat islam pada umumnya yang berusaha memberangus beberapa aliran-aliran tersebut. Dalam tataran bernegara terkait kebebasan beragama, bisakah kita membenarkan tindakan semacam ini ? Insya-Allah saya akan mencoba menulisnya pada sesi yang akan datang. Semoga secuil pikiran dari hamba Allah yang merasa terusik dengan fenomena ini bisa menjadi pencerahan bagi kita semua.
Balikpapan, 5 November 2007
Syamsul Aematis Zarnuji